Calm: Rileks, Fokus, dan Ubahlah Duniamu


Buku Calm: Rileks, Fokus dan Ubahlah Dirimu
Ambisi
ambisi [am·bi·si] Kata Nomina (kata benda)
Arti: keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu
Proses kehidupan manusia emang enggak bisa lepas dari yang namanya ambisi untuk mencapai tujuan hidup. Saking ambisinya dari pagi hingga petang kehidupan seakan berputar pada soal yang itu-itu saja.
Bangun pagi -- berangkat kerja – kerja – pulang kerja – istirahat.
Begitu seterusanya. Kalaupun keluar sejenak dari rutinitas hanya sekadar makan di luar dengan memilih tempat makan yang instagramable. Atau piknik ke sebuah tempat di luar kota atau memilih jalan-jalan di taman. Namun, keluar sejenak dari rutinitas, pikiran masih bergelayut soal pekerjaan. Tangan masih memegang telepon genggam.
Grup musik Fourtwnty melihat fenomena itu dan lahirlah lagu Zona Nyaman yang menyoal tentang rutinitas yang tak berkesudahan. Pada awal-awal lirik, Fourtwnty seolah menyindir kehidupan orang-orang ambisius pengejar materi.
Pagi ke pagi ku terjebak di dalam ambisi
Seperti orang-orang berdasi yang gila materi
Rasa bosan membukakan jalan mencari peran
Keluarlah dari zona nyaman
Kemudian di bagian refrain, Fourtwnty kembali mengingatkan hakikatnya seorang manusia. Manusia adalah makhluk mulia bukan seekor hewan.
Sembilu yang dulu
Biarlah berlalu
Bekerja bersama hati
Kita ini insan bukan seekor sapi
***
Titik Nol
Dulu, aku pernah mengalami hal begini. Terjebak dalam rutinitas yang berputar begitu saja. Waktu itu yang ada dalam benakku adalah bagaimana mendapatkan materi dan mencapai target keuangan tertentu.
Dua tahun, aku berjibaku. Interaksi sosial kukurangi. Saat itu berasa jadi alien. Interaksi dengan tetangga sekadar menyapa dan sedikit basa basi. Aku bekerja keras demi mencapai terget keuangan.  Dan ambisi itu tunai, target keuangan yang kukejar  melampaui target.
Hingga akhirnya....
Aku terkena DBD dan semua seolah kembali ke titik nol. Saat diopname, pikiranku tentang ambisi perlahan lenyap berganti dengan ribuan pertanyaan soal kehidupan.
“Apa sih tujuan hidupmu sesungguhnya?”
“Cuma cari uang doang?”
“Punya rumah, mobil, dan harta benda lainnya?”
“Cuma itu tujuan hidupmu?”
Pikiranku meledak. Aku nyaris seperti orang gila. Rupanya cinta dunia mengalihkanku pada kehidupan yang hakiki. Ah betapa bodohnya aku.
Dalam proses kehidupan ambisi memang diperlukan. Namun tidak baik ketika menjadikan ambisi sebagai alat utama dalam menggapai tujuan hidup, terlebih jika ambisi itu berhubungan erat dengan keduniaan. Bahaya. Ternyata banyaknya materi bukanlah jalan satu-satunya untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan hidup, ketenangan dan kedamaian.
Banyak penyakit-penyakit kejiwaan yang akhirnya muncul karena ketidakseimbangan kehidupan. Beberapa hadist dan ayat dalam Al Quran telah menjelaskan dengan gamblang bahwa dunia bukanlah tujuan hidup yang sesungguhnya. Sehingga saat aku berada di titik nol, aku kembali secepatnya mengubah tujuan hidup serta meredakan ekpektasi dan ambisi.
***
Dalam buku Michael Acton Smith “Calm, Rileks, Fokus dan Ubahlah Duniamu bercerita banyak tentang bagaimana mengembalikan ketenangan hidup. Bersyukur dengan berinteraksi dengan alam dan manusia. Mengembalikan hak-hak tubuh untuk rileks, tidur yang baik dan mencium aroma-aroma bunga yang bisa mengembalikan rasa syukur akan kehidupan.
Pada beberapa bagian, buku ini memberikan tips-tips tentang menguasai kecemasan akan sesuatu, langkah-langkah untuk tidur yang baik, cara untuk mengisi waktu istirahat, dan tentang bagaimana menguasai pikiran pikiran yang kadang melanglang ke sudut sudut kehidupan yang belum terjadi.
Ada bagian yang terlihat begitu sederhana namun rupanya mengembalikan ingatanku pada masa kecil.
                      Pandangilah  Awan
Berhentilah beraktivitas sejenak. Lihatlah ke atas. Ketika hidup terasa menekan Anda, memandangi awan adalah kegiatan menyenangkan yang mengingatkan kita akan masa kecil. Memproyeksikan bentuk bentuk antah berantah versi kita (yang itu mirip topi tinggi, yang di sana mirip papan seluncur) pada layar besar alam sama dengan membuat doodle di pikiran, cara yang tak mungkin tidak membuka pikiran akan berbagai kemungkinan, menyuntikkan sedikit keriangan ke dalam hari Anda, sekaligus membuat Anda menilai ulang posisi Anda di dunia. Kapan terakhir kali Anda berbaring dan menatap awan? Bentuk apa saja yang bisa Anda lihat di sana?
Secara gamblang buku ini tidak menuliskan nomor di setiap halaman. Jadi pembaca boleh memulai dari halaman mana saja. Selain tulisan-tulisan berupa tips ada juga quotes-quote keren dari orang-orang yang keren juga. Ada salah satu quote yang aku suka...
Makanan enak adalah dasar dari kebahagiaan murni ~Auguste Escoffier
Buku ini juga memberikan worksheet (lembar kerja) untuk dikerjakan oleh pembaca.
Detoks Digital
Ada hal yang juga menarik di buku ini. Detoks digital. Seperti yang sudah-sudah, apapun pekerjaannya sepertinya telepon genggam adalah pengikut setia. Bahkan kumpul kumpul bersama teman, sahabat, sauadara dan orang tercinta, jika tidak disepakati bersama perangkat digital pasti menjadi orang ketiga yang diam diam mengambil waktu berharga kita.
Di buku ini dijabarkan bagaimana cara melawan godaan menyalakan perangkat elektronik.
~Tolong Jangan Ganggu~
~ Simpan samrtphone anda di saku ketika bertemu teman
~ Dilarang mengirim email, menggunakan smartphone, atau bekerja di atas pukul 10 malam
~ Dilarang menyimpan perangkat elektronik di kamar tidur
~ Dilarang memainkan perangkat eletronik atau menonton televisi saat sedang makan.
Apabila hidupmu stagnan dan membingungkan, kemudian seperti tak tahu apa makna dan tujuan hidup, membaca buku ini sangat disarankan.

Judul Buku: Calm: Rileks, Fokus dan Ubahlah Duniamu (Calm The Mind, Change the World)
Penulis : Michael Acton Smith 

Alih bahasa: Pandam Kuntaswari 

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama



***
Mimpi Dan Menjauh dari Hiruk Pikuk
Aku sudah lama tinggal di Bogor, salah satu kota kecil yang sudah seperti kota metroplis. Di kota ini, aku kerap kali melihat macet yang tidak berkesudahan, ambisi dan tekanan yang tidak kunjung reda, sikut sana sini, meskipun semuanya tenang ketika hujun turun.
Jarak rumahku dengan tempatku bekerja hanya sekitar 10 hingga 15 menit naik sepeda motor. Tidak terlampaui jauh. Cuma kadang aku suka ruwet dengan banyaknya polisi tidur yang dibuat serampangan, orang orang berkendara dan tidak ikut aturan, kebiasaan kebiasaan aneh orang di sepanjang jalan dan kemacetan jalan yang diakibatkan ketidakpekaan manusia dalam berkendara.
Hiruk pikuk yang berlangsung terus menerus membuatku berpikir ulang untuk menetap lama di kota ini. Ada rencana untuk kembali ke kampung halaman dengan cita cita sederhana.
Tinggal di pedesaan dengan lahan yang cukup luas, kemudian berkebun aneka sayur mayur dan buah-buahan. Beternak ayam, itik manila (entog), bebek dan ikan. Hari-hari dilalui dengan mengajar, belajar dan berbagi kebahagiaan. Kemudian menuliskan apa yang ada di benak dan apa saja yang harus ditulis. Sesekali ke kota untuk melihat hiruk pikuk dan ambisi. Sesederhana itu.
Manusia bukanlah alien, ia tercipta untuk saling berinteraksi sesama makhluk dan memberi kemanfaatan untuk semesta (quotenya Erfano).
Bagaimana, kalian setuju?

Sutradara Favorit, Milly dan Mamet


Review Milly dan Mamet

Sutradara Favorit
Tidak banyak sutradara film yang aku favoritkan. Hanya beberapa. Dan kalau sudah menjadi sutradara favorit, film-film yang dibuat pasti akan aku sempatkan untuk menontonnya. Dulu aku suka sekali film-film karya Garin Nugroho, semenjak nonton Angin Rumput Savana di televisi aku jatuh cinta. Adegan demi adegan yang penuh dengan simbolik hadir membuat pikiran aku cerah. Menerka maksud di setiap adegan. Sejak saat itu aku selalu menanti-nanti film Garin Nugroho. Namun penantian itu kandas karena beberapa film Garin tidak mudah tayang di bioskop, kalaupun tayang hanya di beberapa bioskop pilihan. Dan ketika menonton film Garin Nugroho yang lain, rasanya itu sudah berbeda. Enggak secerah saat nonton film Angin Rumput Savana.
Sutradara favorit berpindah ke Hanung Bramantyo, saat itu Hanung sedang menggarap film Ayat Ayat Cinta. Setelah Ayat ayat Cinta meledak di pasaran saya menonton karya-karya Hanung lainnya seperti Perempuang Berkalung Sorban, Get Merried dan Perahu Kertas. Aku mulai menyukai karya-karya Hanung. Namun saat Hanung mulai menggarap film-film bertema sensitif, saya mulai tidak tertarik dengan film-film garapannya. Kalau pun nonton beberapa film karya Hanung lebih karena dengar review orang kalau filmnya bagus.
Kemudian aku menemukan Mouly Surya dan Kamila Andini. Dua sutradara perempuan ini membuat cerita yang tidak biasa. Fiksi garapan Mouly Surya menarik perhatianku. Mirror Never Lies karya Kamila Andini juga memikat hatiku. Sampai sekarang kedua sutradara perempuan itu masih masuk daftar sutradara yang film-filmnya wajib aku tonton. Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya) dan Sekala Niskala (Kamila Andini) adalah film yang baru-baru ini mereka garap. Dan kedua film ini bersiang ketat di perhelatan FFI 2018 kemarin.
Aku juga pernah suka dengan karya-karya Riri Reza, yang sangat fenomenal adalah Laskar Pelangi. Beberapa kali aku nonton film itu di bioskop. Saat DVDnya keluar aku juga koleksi. Beberapa film Riri Reza aku tonton. Terakhir aku nonton Ada Apa Dengan Cinta 2, dan itu film terakhir yang aku tonton lebih karena euforia AADC sebelumnya. Setelah itu, aku jadi agak “males” nonton film Riri Reza semenjak pernah ketemu dan kurang respect dengan sikap Riri (off the recordlah).
Sutradara favorit sekarang berpindah ke Ernest Prakasa. Awalnya aku enggak terlalu suka sih secara personal, apalagi Ernest termasuk stand up comedian yang agak gimana gitu kalau sedang                                                                                                                      
berkelakar. Apalagi tipikal tipikal Ernest ini kupikir akan sama dengan komika sebelumnya Raditya Dika. Mirip-mirip soalnya. Seorang komedian lalu buat buku dilanjutkan main film dilanjutkan dengan menjadi sutradara film.
Saat film perdana Ernest yang berjudul Ngenest dirilis, aku enggak minat sedikit pun. Padahal film perdana itu meledak di pasaran. Kupikir ceritanya palingan begitu-begitu saja setipe dengan film Raditya Dika. Film perdana lewatlah tidak kutonton.
Film kedua Ernest yang berjudul Cek Toko Sebelah. Aku sudah mulai berminat, apalagi film ini tayang saat liburan. Tapi aku dan saudara keburu nonton film Hangoutnya Raditya Dika yang menurutku enggak banget. Akhirnya aku batal nonton Cek Toko Sebelah. Tapi saat review dan tahu kalau film ini ditonton 2 juta lebih penonton, terbesit penyesalan karena enggak nonton.
Sampailah di suatu hari, saat kembali ke Bogor setelah mudik. Di tengah laut, di kapal ferry sedang ditayangkan Film Cek Toko Sebelah. Penasaranku terbayar. Aku tonton film ini dari awal. Ternyata dugaanku selama ini salah, Film Cek Toko Sebelah benar benar kuat ceritanya. Komedi dapat, dramanya dapat, dan hikmah yang terkandung di dalam cerita yang bisa diambil penonton juga dapat. Jadi enggak rugi bayar tiket karena selain menghibur film yang dihadirkan memiliki hikmah yang bisa dibawa pulang untuk dipikirkan, untuk direnungkan.
Kemudian Ernest membuat film ketiganya yaitu Susah Sinyal. Aku enggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Film ini kutonton di hari pertama penayangan. Setting Sumba yang ngangenin (maklum sudah tiga kali ke Sumba) menjadi daya tarik tersendiri. Soal konten film, aku sudah percaya dengan Ernest dan itu benar-benar terbukti. Film Susah Sinyal, selain menghibur dengan aksi komika-komika yang pas porsinya, drama tentang ikatan anak dan ibu juga ngena banget. Wajar saja sih, kalau film ini tembus dua juta penonton....
Milly dan Mamet (2018)
Saat mendengar film Milly dan Mamet akan dirilis dan salah satu rumah produksi yang membuatnya Miles Film, aku agak gimana gitu. Sebenarnya enggak meragukan film-film produksi Miles sih cuma jadi agak males saja sejak bertemu dengan Riri Reza (piss!).
Nah, kupikir film ini akan digarap Riri Reza (kebayang bakal garing he... he... he...) namun ternyata Ernest Prakasa yang didapuk untuk menjadi penulis skenario dan sutradara.  Jadilah aku mengagendakan jauh-jauh hari buat nonton film ini.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, aku nonton di hari kedua. Hari pertama enggak sempat buat nonton karena kesibukan.
Film Milly dan Mamet bercerita tentang kehidupan berkeluarga Milly dan Mamet. Film ini merupakan spinoff dari Film Ada Apa dengan Cinta. Sehingga jangan heran jika di beberapa adegan genk Cinta akan muncul.
Masalah rumah tangga Milly dan Mamet cukup pelik. Satu sisi Mamet ingin bekerja sesuai dengan passionnya, satu sisi ada jeda antara Mamet dengan ayah mertua, satu sisi Milly yang ingin memiliki kesibukan dari sekadar mengasuh Sakti anak mereka. Kemudian pertemuan antara Mamet dan Alex, kawan lamanya yang akhirnya berbisnis bareng. Konflik demi konflik ini yang diramu sedemikian rupa oleh Ernest ditambah para pemain pendukung yang membuat film ini begitu menghibur.
Ada dua pemain pendukung yang mencuri perhatianku yaitu kehadiran Isyana Sarasvati dan Melly Goeslaw. Kupikir porsi Isyana di film ini hanya cameo numpang lewat doang. Ternyata Isyana tampil di beberapa adegan. Setiap adegan “gokilnya” Isyana terlihat natural dan ngegemesin dan mengundang tawa penonton tentunya. Isyana terlihat nggak kaku, padahal jika dilihat, ini adalah film pertama Isyana.
Pemain lainnya yang nggak kalah kocak adalah kehadiran Mamah Ice yang dimainkan oleh Melly Goeslaw. Kehadiran Melly yang hanya terdapat di beberapa adegan juga mengundang tawa penonton. Keren lah...
Akting pemain utama seperti Dennis dan Sissy meyakinkan, hanya akting Dennis yang “sedikit” kurang konsisten. Peran-peran lainnya porsinya pas menurutku. Para komika yang  berperan sesuai porsinya dengan dialog-dialog segar juga pas dan ini merupakan kekuatan dari film film Ernest.
Hal lain yang jadi kekuatan film ini adalah pesan yang ingin disampaikan tentang pentingnya keluarga. Tipikal film Ernest yang menghibur dan mengandung pesan adalah kekuatan utamanya. Kebanyakan film menghibur iya, lucu iya tapi pesannya enggak ada. Ada juga film yang pesannya ada tapi dikemasnya enggak menghibur. Aku sih berharap Ernest tetap konsisten dan enggak coba buat film yang “aneh-aneh”.
Yang sedikit mengganjal di film ini adalah masuknya beberapa soundtrack lagu yang kurang pas. Seperti lagu Luluh milik Isyana Sarasvati dan Rara Sekar. Pas masuk adegan berasa enggak klop aja. Padahal salah satu yang aku tunggu di film ini adalah masuknya lagu soundtrack.
Namun secara keseluruhan Milly dan Mamet adalah film yang manis di akhir tahun 2018.
***
Banyak sutradara-sutradara film yang bermunculan. Namun sedikit yang dapat mencuri perhatian. Mouly Surya, Kamila Andini dan Ernest Prakasa adalah sutradara favoritku saat ini. Semoga mereka konsisten berkarya dengan kekuatannya masing-masing sehingga warna film indonesia makin beragam dan berkualitas.
Dan.... Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.

Tsunami Aceh 14 Tahun Silam


Buku kumpulan puisi Duka Aceh Luka Kita
Tahun 2004
Pagi itu ruangan televisi di kossan yang aku tempati begitu heboh. Breaking News di beberapa televisi swasta membuat kakak di kossan terperanjat. Gelombang laut setinggi beberapa meter menerjang Aceh. Ribuan orang menjadi korban.
“Astaghfirullah. Ada gempa bumi dan tsunami di Aceh,” teriak kakak kos.
Aku dan beberapa orang yang berada di lantai dua turun ke ruang televisi. Kepalaku nanar menyaksikan video gelombang yang memporakporandakan Aceh. Mataku menahan duka. Nafasku tak beraturan.
“Ya Allah. Ampuni kami!” bisikku dalam hati.
Kami pun saling mengecek, terutama teman-teman yang berasal dari Aceh. Di kelas jurusanku, kebetulan ada satu orang yang berasal Aceh. Di kossanku ada beberapa kakak kelas yang juga berasal dari Aceh.
Berita tentang gempa dan tsunami di Aceh menjadi berita yang sangat hangat. Kekhawatiran demi kekhawatiran terlihat di mata teman-teman mahasiswa yang berasal dari Aceh. Beberapa keluarga mereka di kampung tidak dapat dihubungi.
Tahun 2005
Pergantian tahun biasanya ditunggu oleh banyak kalangan. Namun tidak untuk kali ini, suasana duka bagi seluruh rakyat Indonesia masih begitu terasa kuat. Rasanya terlalu miris ketika merayakan pergantian tahun sedangkan di belahan bumi lain sedang dirundung duka.
Beberapa teman dan aku berkunjung ke asrama mahasiswa Aceh. Kami melihat bagaimana keresehan teman-teman di sana. Beberapa pengumuman-pengumuman terkait dengan bencana tertempel di sana sini. Beberapa bantuan berupa baju layak pakai tersimpan rapi di dalam karung dan kardus.
Komti di kelas kami akhirnya mengusulkan untuk melakukan pengggalangan dana bagi teman-teman yang terkena musibah. Tanpa berlama-lama, aksi penggalangan kami lakukan di seputaran Jalan Padjajaran Bogor. Alhamdulillah beberapa juta hasil dari penggalangan telah kami peroleh.
Selain mencari dana dengan turun di jalan-jalan, kami juga mengumpulkan beberapa barang layak pakai. Saat semuanya terkumpul kami salurkan ke asrama Aceh. Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar.
Keluarga teman kami yang berasal dari Aceh, Alhamdulillah sudah dapat dihubungi. Semuanya dalam keadaan baik, meskipun begitu gempa bumi dan tsunami berdampak besar bagi perekonomian di Aceh.
Kumpulan Buku Puisi
Tahun 2005  adalah tahun kelulusan bagi kami,  namun sebelumnya kami harus praktik magang di perusahaan perusahaan perkebunan. Karena program yang aku ambil adalah Pengelola Perkebunan dan awal Februari kami harus berangkat. Kebetulan aku dapat tempat magang di Kalimantan Tengah, di perusahaan sawit milik Astra Ago Lestari.
Sebulan sebelum magang, sekitar awal bulan Januari. Aku membaca surat kabar tentang pengumpulan puisi yang akan dijadikan antologi puisi Untuk Aceh. Jujur, aku yang lebih menyukai untuk mem buat cerita pendek merasa kurang percaya diri. Namun, aku coba buat beberapa puisi. Niatnya untuk ikut serta dalam mengenang tragedi ini.
Berbekal email yang dicantumkan panitia di surat kabar, aku mengirim sekitar tiga buah puisi. Waktu itu, aku mengirim lewat warung internet (warnet) yang banyak bertebaran di sekitar kampus.
Setelah mengirimkan puisi tersebut. Aku sudah tidak ingat lagi karena sudah sibuk mempersiapkan magang di Kalimantan Tengah.
Bulan Februari aku berangkat ke Kalimantan. Hal yang aku amati di magang kali ini adalah terkait pemupukan di perkebunan kelapa sawit milik Astra. Di Kalimantan, aku masih mengupdate kejadian gempa dan tsunami di Aceh dari berita-berita televisi. Banyak kegiatan-kegiatan amal yang dilakukan beberapa publik figur untuk menggalang dana bagi masyarakat Aceh dan sekitarnya.
Aku magang selamat empat bulan. Kemudian mulai menulis laporan akhir, sidang dan aku dinyatakan lulus dari program diploma sekitar bulan Agustus. Kemudian aku melanjutkan di sarjana ekstensi IPB dengan program Agrbisnis.
Suatu waktu aku kembali teringat puisiku. Sudah lama aku menunggu kabar, apakah puisiku masuk juga ke dalam kumpulan puisi untuk Aceh. Kalau iya kenapa tidak ada kabar? Sebab jika masuk, para penulis akan dikabari dan diberikan satu eksemplar buku kumpulan puisi. Ah, barangkali aku belum beruntung, gumamku membesarkan hati.
Sampai akhirnya....
Saat berkunjung ke toko buku Gramedia. Aku menyusuri buku-buku baru, biasanya kumpulan cerita pendek dan novel . Sampai akhirnya aku juga iseng menyusuri rak buku kumpulan puisi. Mataku tertuju pada buku baru yang ada di rak. Buku tersebut berjudul Duka Aceh Luka Kita (Kumpulan Puisi Penyair Indonesia Mengenang Tragedi Aceh dan Bencana Tsunami).
Nafasku memburu.  Degub jantungku tak beraturan. Aku deg-degan. Kucari buku yang sudah dibuka sampul pastiknya. Aku bergegas membuka daftar isi berharap ada namaku di situ. Dan... nama dan puisiku tertera di halaman 80. Aku hampir saja berteriak senang. Jarang jarang aku membuat puisi ternyata masuk kumpulan puisi bareng penyair penyair hebat.
Inilah puisiku yang masuk dalam buku Kumpulan Puisi Duka Aceh Luka Kita. 
Air Mata Mamak


Berderai sudah air mata itu
Dari mata-mata mereka: mamak, ayah, cut bang, cut kak....
Setelah bertahun-tahun terperihkan
Hingga satu peristiwa yang memuaskan


Aku menangkap mata itu
Mata yang bertetes air mata
Mata penuh perjuangan, pengharapan dan kelukaan


Mamak
Sudah cukuplah air mata itu habis?
Sudah cukupkah penderitaan ini berakhir?
Sudahlah....
Cukup untuk menyudahinya, Mamak!


Lalu mamak tersenyum
Ada ikhlas yang muncul dari lengkingan bibir itu
Ada semangat yang bercahaya di wajah rentanya
Ia masih memiliki harapan
                         Bogor, 09 Januari 2005


Di dalam kumpulan puisi tersebut ternyata ada juga puisi M. Aan Mansyur. Saat aku lihat penyair penyair lain, ternyata aku tidak ada apa-apa dibandingkan mereka yang sudah malang melintang di dunia sastra. Namun aku bangga bisa berada satu buku kumpulan puisi bersama mereka.
Tahun 2018
Sebelum tepat mengenang tragedi gempa bumi dan tsunami Aceh, Sabtu malam, 22 Desember 2018. Indonesia kembali berduka. Sebelumnya tsunami dan gempa di Palu Donggala, sebelumnya lagi gempa bumi di Lombok. Kali ini, Banten dan Lampung terkena bencana tsunami tanpa peringatan, tanpa gempa bumi terlebih dahulu.
Minggu pagi, aku dikagetkan dengan beberapa video di instagram dan youtube mengenai gelombang laut pasang yang akhirnya dinyatakan sebagi tsunami.
Sepanjang hari aku mengamati perkembangan yang ada. Teman-teman dari Salam Aid (salah satu komunitas kemanusiaan di Sekolah Alam Bogor) langsung berangkat membawa ambulance dan obat-obatan. Hatiku terenyuh. Sebelumnya tim Salam Aid melalui gerakan #gururelawan telah benyak membantu saudara-saudara kita di sekitar Bogor, Lombok dan Palu. Bahkan di Lombok dan Palu, bantuan tidak hanya selesai dalam jangka waktu yang singkat, namun berkesinambungan beberapa tahun ke depan.

Dari grup WA, aku memantau keberangkatan teman-teman Salam Aid menuju Banten. Semoga mereka selalu dilimpahi kebaikan, kesehatan dan keberkahan.
Aku menghela nafas. Merenung. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kehidupan manusia berikutnya. Bencana apa yang akan terjadi. Keajaiban-keajaiban apa yang akan terjadi. Tugas kita terus menjalani kehidupan ini lantas pasrah pada Allah, banyak berdoa, meminta ampunan dan hidup bersahaja serta berharmoni terhadap alam dan semesta. Semoga kita senantiasa mendapat perlindungan dari Allah. Aamiin.
Sudah 14 tahun tragedi gempa bumi dan tsunami menimpa Aceh. Kebetulan adik laki-lakiku yang berprofesi sebagai tentara bertugas di Aceh. Kini Aceh sudah banyak berbenah. Tinggal kita ikut membenahi Lombok, Palu, Banten dan Lampung serta membenahi hati ini untuk lebih peka dalam membaca tanda tanda alam.
Mudah-mudahan tulisan ini memberi manfaat. Terima kasih....