1 Tahun Prabowo Gibran: Capaian dan Apresiasi Piala Adhi Praya GarudaTV

Malam itu, udara Jakarta terasa lebih tenang dari biasanya. Saya melangkah masuk ke Auditorium Universitas Tarumanagara dengan rasa penasaran yang besar. Di pintu masuk, spanduk bertuliskan “1 Tahun Prabowo Gibran & Piala Adhi Praya GarudaTV” menyambut setiap tamu yang datang. Saya melihat wajah-wajah antusias dari berbagai kalangan mahasiswa, akademisi, profesional muda. Semua hadir dengan semangat ingin tahu sejauh mana pemerintahan Prabowo Gibran bekerja selama setahun terakhir.

Begitu masuk ke dalam ruangan, suasananya langsung terasa hangat dan meriah. Lampu-lampu panggung berwarna keemasan berpadu dengan dekorasi bernuansa merah putih. Acara dibuka dengan tarian khas Kalimantan yang megah. Gerakan para penari begitu anggun dan bertenaga, memadukan tradisi dan modernitas dengan sempurna. Saya terpaku; ada rasa bangga melihat budaya daerah ditampilkan begitu indah di panggung nasional.

Begitu musik tarian berhenti, lampu meredup, dan suara lembut Astrid mulai terdengar. Ia menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan penghayatan yang luar biasa. Lagu itu selalu punya tempat di hati saya. Setiap baitnya terasa seperti surat cinta untuk Indonesia. Dari lirik itu, saya merasa diingatkan kembali bahwa semua capaian dan kerja keras pemerintahan ini berpulang pada satu hal: mencintai negeri ini dengan tindakan nyata.

Setelah suasana hening beberapa detik, layar besar di panggung menampilkan tulisan “Capaian Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran”. Saya menyiapkan ponsel untuk mencatat poin-poin penting.

Yang pertama tampil adalah Bapak Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dengan tenang dan sistematis, beliau menjelaskan bagaimana ekonomi Indonesia tetap tumbuh kuat di tengah gejolak dunia. “Pertumbuhan ekonomi kita kuartal kedua tahun ini mencapai 5,12 persen,” katanya, diikuti tepuk tangan dari penonton. Inflasi pun terkendali di 2,65 persen, dan defisit APBN berada di bawah 3 persen. Beliau juga menyebut tentang realisasi investasi yang menembus Rp. 811 triliun, serta surplus perdagangan selama 64 bulan berturut-turut. Saya terdiam, merasa kagum mendengar angka-angka itu. Rasanya seperti bukti konkret bahwa arah ekonomi kita memang sedang menguat.

Setelah Airlangga, Ibu Ni Luh Putu Surya Wardhani Puspa, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, naik ke panggung dengan senyum lebar. Ia menceritakan bagaimana pariwisata Indonesia kembali bangkit pasca pandemi. “Hingga Agustus 2025, jumlah wisatawan mancanegara mencapai lebih dari 10 juta kunjungan,” ujarnya dengan penuh semangat. Ia juga menyoroti geliat ekonomi kreatif lokal mulai dari kuliner, kriya, hingga musik dan film yang membuka banyak lapangan kerja baru. Saya ikut tersenyum; memang terasa sekali, tempat-tempat wisata mulai hidup lagi, dan anak muda banyak yang kembali bekerja di sektor ini.

Giliran berikutnya, Bapak Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, tampil dengan gaya bicara yang tenang tapi tegas. Beliau menekankan pentingnya pemerataan kualitas pendidikan. Pemerintah, katanya, telah merenovasi lebih dari 16 ribu gedung sekolah, membangun 16 Sekolah Garuda unggulan, serta menyalurkan Beasiswa Sekolah Rakyat kepada ribuan pelajar di berbagai daerah. “Pendidikan bukan hanya soal akses, tapi juga semangat dan kualitas belajar,” katanya. Saya merasa kalimat itu menempel di kepala, sederhana tapi dalam maknanya.

Lalu, suasana menjadi lebih semarak ketika Bapak Muhaimin Iskandar, Menteri Ketenagakerjaan, mengambil alih panggung. Dengan gaya khasnya yang hangat, beliau memaparkan tentang Program Lapangan Kerja Baru yang telah membuka lebih dari 4 juta kesempatan kerja di berbagai sektor. Ia juga menyinggung program magang bagi 100 ribu lulusan baru serta peningkatan perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Saya bisa melihat banyak penonton muda yang mencatat poin-poin itu dengan semangat mungkin karena mereka merasa langsung terhubung dengan isu ini.

Terakhir, Bapak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berbicara tentang kesejahteraan sosial dan penurunan angka kemiskinan. Ia menyampaikan bahwa tingkat kemiskinan kini berada di 8,47 persen, terendah sepanjang sejarah. Selain itu, ada lebih dari 3,4 juta pelaku UMKM yang telah mendapatkan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR). AHY juga menambahkan bahwa pemerintah terus berupaya memperluas perumahan bersubsidi, dengan 221 ribu unit rumah sudah terbangun dalam setahun terakhir. Saya melihat wajah-wajah di sekitar saya tampak lega dan bangga karena ternyata, banyak kebijakan yang benar-benar menyentuh masyarakat secara langsung.

Menariknya, setelah setiap pemaparan, GarudaTV menyerahkan Piala Adhi Praya kepada masing-masing menteri dan wakil menteri sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi dan kinerja mereka. Tidak ada suasana formal yang kaku; semuanya berlangsung hangat, dengan senyum tulus dan tepuk tangan yang menggema. Saya sempat mengambil beberapa foto, bukan hanya karena suasananya megah, tapi karena saya ingin mengabadikan momen penuh optimisme itu.

Dari tempat duduk saya di barisan tengah, saya menatap layar besar yang terus menampilkan data capaian lain: dari Program Makan Bergizi Gratis yang telah menyalurkan 1,1 miliar porsi makanan, hingga pembentukan 81 ribu Koperasi Desa (KopDes) yang menggerakkan ekonomi lokal. Ada pula potongan video tentang 100 Kampung Nelayan Merah Putih, yang mengubah wajah pesisir dengan cara yang membanggakan. Semua capaian itu membuat saya berpikir, ternyata kerja nyata bisa terlihat dari berbagai sisi, dari meja rapat kabinet hingga dapur-dapur sekolah di pelosok negeri.

Satu tahun memang belum lama, tapi dari apa yang saya lihat malam itu, fondasinya sudah terbentuk dengan kuat.

Dan di tengah kemacetan malam Jakarta, saya tersenyum kecil sambil berkata dalam hati,

“Ya, satu tahun ini benar-benar terasa.”

Kisah Baltasar Klau Nahak: Belajar Menanam Harapan dari Papua

Ada kalanya sebuah kisah datang bukan sekadar untuk dibaca, tapi untuk menggugah hati yang lama tertidur. Begitulah rasanya ketika aku pertama kali membaca tentang Baltasar Klau Nahak, pemuda asal Papua yang akrab disapa Ka Ball. Namanya mungkin belum sepopuler tokoh-tokoh besar negeri ini, tapi apa yang ia lakukan membuatku tertegun lama.

Di tengah dunia yang begitu sibuk mengejar pencapaian, Ka Ball justru memilih jalan sunyi: menyelamatkan alam lewat literasi. Sederhana, tapi sungguh dalam. Ia tidak bicara dengan jargon-jargon besar tentang lingkungan, melainkan dengan tindakan kecil yang lahir dari rasa peduli.

Katanya, ia tidak langsung merasa terpanggil. Awalnya hanya merasa terusik. Aku berhenti di kalimat itu saat membacanya. Terusik. Betapa jujur dan manusiawi. Ia tumbuh mencintai alam di tanah Papua yang kaya akan hutan, sungai, dan udara bersih. Tapi semakin dewasa, ia melihat kerusakan di mana-mana. Hutan ditebang, sungai tercemar, tanah mulai kehilangan daya hidupnya. Dan yang paling menyedihkan, banyak orang di sekitarnya seolah menganggap itu biasa saja.

Dari rasa terusik itulah, lahir keinginan untuk melakukan sesuatu. Ia sadar, ia tidak bisa melawan semuanya sendirian. Tapi ia tahu, perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Maka ia memutuskan untuk menanam benih kesadaran lewat buku, lewat Perpustakaan Keliling Agape di Sorong Selatan.

Perpustakaan Keliling Angape

Bagian ini membuatku benar-benar tersentuh. Karena yang Ka Ball lakukan bukan sekadar menyelamatkan lingkungan, tapi juga menyelamatkan generasi. Di tempat yang akses pendidikannya terbatas, ia hadir membawa buku-buku ke desa-desa terpencil. Anak-anak di sana yang sebelumnya tidak punya kesempatan membaca, kini bisa membuka jendela dunia.

Namun yang lebih menarik, perpustakaan itu bukan hanya tentang membaca. Ka Ball memadukan literasi dengan cinta terhadap alam. Ia menyebutnya eco-literacy, literasi lingkungan. Sebuah pendekatan yang mengajak anak-anak belajar memahami alam, bukan dari teori, tapi dari pengalaman langsung.

Lewat program itu, mereka diajak menanam pohon, membersihkan sungai, menonton film edukatif, hingga membuat karya seni dari sampah. Literasi yang tadinya terasa kaku dan membosankan, tiba-tiba jadi kegiatan yang hidup dan penuh tawa. Aku bisa membayangkan wajah anak-anak itu yang bersinar ketika mereka berhasil menanam bibit pertama mereka, atau saat mereka menulis cerita tentang hutan di kampungnya sendiri.

Tapi perjalanan Ka Ball tentu tidak selalu mudah. Banyak rintangan seperti bagaimana perpustakaan kelilingnya sempat terkena banjir. Banyak buku rusak, bahkan sebagian hilang. Aku bisa merasakan sesak di dada membayangkannya, kerja keras berbulan-bulan hanyut begitu saja. Namun, alih-alih menyerah, ia justru bangkit. Bersama relawan dan masyarakat, ia membangun kembali perpustakaan itu dari nol. Di titik itu aku sadar, perjuangan bukan hanya tentang berhasil, tapi juga tentang tidak berhenti walau sempat jatuh.

Jangkauan Harapan ke 30 Kampung 

Kini, Perpustakaan Keliling Agape telah menjangkau lebih dari 30 kampung, dengan 8 di antaranya menjadi desa binaan. Bagi sebagian orang, angka itu mungkin terlihat kecil. Tapi bagiku, itu adalah langkah luar biasa. Di balik setiap kampung yang ia datangi, ada puluhan anak yang mulai belajar mencintai bumi, ada ibu-ibu yang ikut menjaga kebersihan sungai, ada pemuda-pemudi yang terinspirasi untuk melanjutkan gerakan ini.

Ka Ball juga mendapatkan berbagai penghargaan, termasuk Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra pada Oktober 2024. Ia berhasil menyisihkan lebih dari 16 ribu peserta lainnya di bidang pendidikan. Tapi yang menarik, ia tidak pernah menonjolkan penghargaan itu. Ia tetap rendah hati, tetap bekerja di akar rumput, tetap dekat dengan masyarakatnya. Seolah baginya, penghargaan tertinggi adalah ketika ada anak kecil yang tersenyum sambil membawa buku dan berkata, “Aku ingin jadi penjaga hutan.”

Setelah membaca kisahnya, aku menutup layar ponsel dengan perasaan campur aduk. Ada haru, kagum, sekaligus rasa malu. Aku jadi bertanya pada diriku sendiri: selama ini aku peduli, tapi sejauh apa? Aku sering mengeluh tentang sampah di sungai, tentang polusi udara, tapi seberapa sering aku benar-benar bertindak? Kisah Ka Ball seperti cermin yang menampar lembut bahwa peduli tidak butuh alasan besar, cukup keberanian kecil untuk memulai.

Aku menyadari, tidak semua orang bisa mendirikan perpustakaan. Tidak semua punya tenaga untuk berkeliling kampung membawa buku. Tapi setiap orang bisa menjadi bagian dari perubahan dengan caranya sendiri. Bisa dengan membuang sampah di tempatnya, menanam pohon di halaman rumah, atau sekadar mengajarkan anak-anak untuk tidak merusak alam.

Ka Ball mengajarkanku bahwa menjaga bumi bukan tugas para ahli, melainkan tanggung jawab setiap manusia yang hidup di atasnya. Ia menunjukkan bahwa cinta pada alam bisa ditumbuhkan lewat literasi, lewat pengetahuan, lewat rasa ingin tahu yang sederhana.

Kini setiap kali aku melihat tumpukan buku di rak, aku teringat pada Perpustakaan Agape, pada anak-anak yang membaca di bawah pohon, pada suara tawa di antara halaman-halaman buku, dan pada seorang pemuda yang memilih jalan sunyi untuk menjaga bumi.

Kisah Ka Ball membuatku percaya, harapan tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya butuh seseorang yang mau menanamnya. Dan di tanah Papua yang subur, seorang pemuda telah menanamnya dengan cinta dan ketulusan.