Kisah Baltasar Klau Nahak: Belajar Menanam Harapan dari Papua

Ada kalanya sebuah kisah datang bukan sekadar untuk dibaca, tapi untuk menggugah hati yang lama tertidur. Begitulah rasanya ketika aku pertama kali membaca tentang Baltasar Klau Nahak, pemuda asal Papua yang akrab disapa Ka Ball. Namanya mungkin belum sepopuler tokoh-tokoh besar negeri ini, tapi apa yang ia lakukan membuatku tertegun lama.

Di tengah dunia yang begitu sibuk mengejar pencapaian, Ka Ball justru memilih jalan sunyi: menyelamatkan alam lewat literasi. Sederhana, tapi sungguh dalam. Ia tidak bicara dengan jargon-jargon besar tentang lingkungan, melainkan dengan tindakan kecil yang lahir dari rasa peduli.

Katanya, ia tidak langsung merasa terpanggil. Awalnya hanya merasa terusik. Aku berhenti di kalimat itu saat membacanya. Terusik. Betapa jujur dan manusiawi. Ia tumbuh mencintai alam di tanah Papua yang kaya akan hutan, sungai, dan udara bersih. Tapi semakin dewasa, ia melihat kerusakan di mana-mana. Hutan ditebang, sungai tercemar, tanah mulai kehilangan daya hidupnya. Dan yang paling menyedihkan, banyak orang di sekitarnya seolah menganggap itu biasa saja.

Dari rasa terusik itulah, lahir keinginan untuk melakukan sesuatu. Ia sadar, ia tidak bisa melawan semuanya sendirian. Tapi ia tahu, perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Maka ia memutuskan untuk menanam benih kesadaran lewat buku, lewat Perpustakaan Keliling Agape di Sorong Selatan.

Perpustakaan Keliling Angape

Bagian ini membuatku benar-benar tersentuh. Karena yang Ka Ball lakukan bukan sekadar menyelamatkan lingkungan, tapi juga menyelamatkan generasi. Di tempat yang akses pendidikannya terbatas, ia hadir membawa buku-buku ke desa-desa terpencil. Anak-anak di sana yang sebelumnya tidak punya kesempatan membaca, kini bisa membuka jendela dunia.

Namun yang lebih menarik, perpustakaan itu bukan hanya tentang membaca. Ka Ball memadukan literasi dengan cinta terhadap alam. Ia menyebutnya eco-literacy, literasi lingkungan. Sebuah pendekatan yang mengajak anak-anak belajar memahami alam, bukan dari teori, tapi dari pengalaman langsung.

Lewat program itu, mereka diajak menanam pohon, membersihkan sungai, menonton film edukatif, hingga membuat karya seni dari sampah. Literasi yang tadinya terasa kaku dan membosankan, tiba-tiba jadi kegiatan yang hidup dan penuh tawa. Aku bisa membayangkan wajah anak-anak itu yang bersinar ketika mereka berhasil menanam bibit pertama mereka, atau saat mereka menulis cerita tentang hutan di kampungnya sendiri.

Tapi perjalanan Ka Ball tentu tidak selalu mudah. Banyak rintangan seperti bagaimana perpustakaan kelilingnya sempat terkena banjir. Banyak buku rusak, bahkan sebagian hilang. Aku bisa merasakan sesak di dada membayangkannya, kerja keras berbulan-bulan hanyut begitu saja. Namun, alih-alih menyerah, ia justru bangkit. Bersama relawan dan masyarakat, ia membangun kembali perpustakaan itu dari nol. Di titik itu aku sadar, perjuangan bukan hanya tentang berhasil, tapi juga tentang tidak berhenti walau sempat jatuh.

Jangkauan Harapan ke 30 Kampung 

Kini, Perpustakaan Keliling Agape telah menjangkau lebih dari 30 kampung, dengan 8 di antaranya menjadi desa binaan. Bagi sebagian orang, angka itu mungkin terlihat kecil. Tapi bagiku, itu adalah langkah luar biasa. Di balik setiap kampung yang ia datangi, ada puluhan anak yang mulai belajar mencintai bumi, ada ibu-ibu yang ikut menjaga kebersihan sungai, ada pemuda-pemudi yang terinspirasi untuk melanjutkan gerakan ini.

Ka Ball juga mendapatkan berbagai penghargaan, termasuk Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra pada Oktober 2024. Ia berhasil menyisihkan lebih dari 16 ribu peserta lainnya di bidang pendidikan. Tapi yang menarik, ia tidak pernah menonjolkan penghargaan itu. Ia tetap rendah hati, tetap bekerja di akar rumput, tetap dekat dengan masyarakatnya. Seolah baginya, penghargaan tertinggi adalah ketika ada anak kecil yang tersenyum sambil membawa buku dan berkata, “Aku ingin jadi penjaga hutan.”

Setelah membaca kisahnya, aku menutup layar ponsel dengan perasaan campur aduk. Ada haru, kagum, sekaligus rasa malu. Aku jadi bertanya pada diriku sendiri: selama ini aku peduli, tapi sejauh apa? Aku sering mengeluh tentang sampah di sungai, tentang polusi udara, tapi seberapa sering aku benar-benar bertindak? Kisah Ka Ball seperti cermin yang menampar lembut bahwa peduli tidak butuh alasan besar, cukup keberanian kecil untuk memulai.

Aku menyadari, tidak semua orang bisa mendirikan perpustakaan. Tidak semua punya tenaga untuk berkeliling kampung membawa buku. Tapi setiap orang bisa menjadi bagian dari perubahan dengan caranya sendiri. Bisa dengan membuang sampah di tempatnya, menanam pohon di halaman rumah, atau sekadar mengajarkan anak-anak untuk tidak merusak alam.

Ka Ball mengajarkanku bahwa menjaga bumi bukan tugas para ahli, melainkan tanggung jawab setiap manusia yang hidup di atasnya. Ia menunjukkan bahwa cinta pada alam bisa ditumbuhkan lewat literasi, lewat pengetahuan, lewat rasa ingin tahu yang sederhana.

Kini setiap kali aku melihat tumpukan buku di rak, aku teringat pada Perpustakaan Agape, pada anak-anak yang membaca di bawah pohon, pada suara tawa di antara halaman-halaman buku, dan pada seorang pemuda yang memilih jalan sunyi untuk menjaga bumi.

Kisah Ka Ball membuatku percaya, harapan tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya butuh seseorang yang mau menanamnya. Dan di tanah Papua yang subur, seorang pemuda telah menanamnya dengan cinta dan ketulusan.