Layangan Putus

Layangan putus

Senja, untuk ke sekian kali, aku menunggu kehadiranmu. Di tempat yang sama dengan kesenyapan serupa. Namun, aku lupa. Entah berapa kali aku menunggumu di sini, sunyi seperti petapa. Menanti waktu habis seperti api membakar dupa.

Entah mengapa, sesal itu berhamburan mendekap dadaku. Luka yang kutahan sejauh ini mulai menganga tanpa kuasa untuk membendungnya. Aku tak lagi utuh, segalanya telah runtuh. Separuh hatiku telah rapuh, separuh sisanya benar-benar telah lebur dalam luka yang telah menganga penuh.

“Kamu masih di sini?” sebuah tanya membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihat sumber suara. Tanpa kusadari, seorang wanita dengan umur sebaya denganku berada di belakangku.

Dia tersenyum. Ada getir yang tersirat dalam bibir tipisnya. Menatapnya, aku seperti menguliti diri. Rambut sebahu diikat, baju daster sederhana, sendal jepit. Yang membedakan, wanita ini memiliki kulit langsat dan wajahnya sedikit lebih cantik dariku.

“Kamu masih menunggu senja di sini?” tanyanya lagi. Aku terperanjat. Dari mana wanita ini tahu aku menunggu senja. Menanti malam dan melarikan luka di tempat ini.

Wanita itu kembali tersenyum. Masih getir.”Aku mengamatimu jauh-jauh hari. Saat aku membuang resah yang semakin banyak di tempat ini, semakin itulah aku menemukanmu.” Wanita itu berujar ringan. Aku makin terperanjat dalam pekat yang begitu lekat. Ini membingungkan. Aku tak kenal siapa wanita ini.

“Anda siapa?” Akhirnya pertanyaan itu muncul dari mulutku. Dia kembali tersenyum. Kembali getir. Seolah menyiratkan lukanya. Namun senyum getir itu pun menyiratkan lukaku.

“Aku Lidya.” Wanita itu menjulurkan tangannya. Aku menyambut tangan itu.
“Aku Widya,” ujarku. Wanita itu kembali tersenyum.

“Nama kita mirip! Hanya beda di awal.” Lidya duduk tepat samping kananku. “Aku tak tahu, angin apa yang membawaku menemui tempat ini. Tapi, semakin aku berada di sini, aku makin merasakan damai. Aku merasakan pahit yang meraja di hidupku membaur bersama udara. Ia bagai karbondioksida yang meracuni tubuh lalu terhempas keluar karena tempat ini adalah penawarnya. Aku merasa ringan berkepanjangan, hilang beban.” Entah, tanpa dikomando Lidya mulai membuka tabirnya. Aku bergeming.

“Aku pikir pernikahanku akan merajut bahagia.” Suara Lidya terhenti. Aku menoleh. Terkejut. Mengapa ia seperti bercerita tentang diriku? “Maka, aku menemui senja di sini. Membagi kepingan-kepingan luka itu.” Suara Lidya kembali berujar tenang.
Menemui senja? Bukankah itu yang selalu kulakukan hampir setiap hari. Mengapa wanita yang baru kutemui beberapa waktu ini seperti bayanganku? Aku larut dalam kebingungan.

“Maka aku tahu kamu masih di sini. Menemui senja seperti hari-hari lalu. Baru kini, aku berani berbincang denganmu. Berharap kisah kita sama. Saat kisah itu mengurai, aku benar-benar berharap luka itu ikut terurai.” Lidya menatap diriku yang disesaki ribuan tanya.

Lidya bangkit. “Aku berharap, keputusanku menikah dengan lelaki itu membawa bahagia utuh. Itu terjadi, hingga delapan tahun pernikahan kami. Bayangkan, Widya! Delapan tahun, kami bahagia. Kami dikaruniai anak dua. Tapi semua sirna, tatkala wanita lain masuk dalam kehidupan kami.”

Aku terkejut. Sebebas itukah wanita yang baru aku kenal belum setengah hari pun itu bercerita. Kisah luka yang tak patut orang baru sepertiku mendengarnya. Namun aku tak dapat membendung. Sama sepertiku, jiwa koyak penuh luka tak mampu lagi dipendam lebih lama.

“Lalu?” tanyaku penasaran dengan ceritanya.

“Lelaki itu ingin menikahi pelacur itu..” Mata Lidya membawa perih dendam. Aku hanya diam, mendengar seksama. Menelan ludah.
Angin berhembus pelan. Hening mulai merasuk pada pertemuan pertama kami. Lidya tak melanjut kisahnya. Ia mengambil nafas, matanya mulai berkaca-kaca. Lalu tanpa aba-aba, air mata jatuh. Ia menangis beriringan dengan angin, pelan.

Senja yang kami tunggu mulai datang. Semburat jingga menghias cakrawala. Perasaan kami tiba-tiba ringan, beban yang bersemayam mulai berterbangan. Air mata Lidya tak lagi beriringan. Hanya angin pelan yang berputar pelan membawa keheningan.

“Kau akan kembali?” tanyaku, Lidya masih memamah senja. Dia tak menjawab. “ Lihat, jelaga mulai melumatkan langit. Kita harus kembali, sebelum semuanya berubah jadi luka. Esok, kita akan bertemu lagi di sini. Kau lanjutkan kisahmu dan aku akan kisahkan lukaku.” Aku menatap Lidya seraya tersenyum. Entah, hanya beberapa jam bertemu dengan wanita ini, aku mulai merasa nyaman, tentram.

Andai waktu senja datang lebih lama. Mungkin, aku dan Lidya akan bebas bercerita. Mungkin selain luka yang menjadi topik kisah, ada kisah lain yang kami sematkan. Namun, tak bisa hari ini. Senja terlalu singkat menemui kami.

Janji telah terpatri. Esok kami kembali. Di persimpangan jalan, aku dan Lidya berpisah. Ia kembali menemui lukanya dan aku kembali merasakan lukaku.

Aku datang lebih cepat dari biasanya. Berharap luka menganga itu segera menyebar dihirup rerumputan di tempat ini. Pandanganku berputar. Kucari sosok Lidya di setiap sudut. Namun, aku harus menelan kecewa. Lidya belum tiba, mungkin karena aku terlalu awal.

Aku duduk di tempat biasa. Menanti senja, meluapkan kerinduan. Barangkali sedikit berkisah akan kelamnya hidup yang kualami. Lamat-lamat, aku termenung akan kejadian semalam.`

Aku datang belumlah malam, biasanya suamiku, lelaki itu belum kembali dari kantor. Tapi perkiraanku tak tepat, ia, lelaki itu menunggu dengan tepat di depan pintu. Matanya menyelidik. Aku panik. Luka apa yang akan kuterima malam ini?

“Dari mana kamu?” Lelaki itu bersuara keras. Tanganku bergetar. Aku menunduk. Takut.

Lelaki itu tak bersuara lagi. Ia menjambak rambutku memaksaku masuk ke dalam rumah. Lalu sekonyong-konyong mendorongku. Tubuhku terhempas ke lantai. Aku pasrah.

“Kamu selingkuh kan?” Kembali pertanyaan itu yang kerap ia lontarkan. Ia mengambil ikat pinggang yang melingkar di celananya. Ritual itu berlangsung. Cambuk ikat pinggang itu menghempas tubuhku. Aku tak kuasa. Tak ada daya.

Sekujur tubuhku pedih. Namun hatiku lebih perih, aku tahu anak-anak mendengar peristiwa ini.

“Dasar perempuan tak tahu diri. Tak tahu diuntung. Kalau bukan karena menikah denganku, tak akan naik derajatmu itu. Kini kau selingkuh, hah? Bedebah..” Suara lelaki itu meninggi. Caci maki biasa disematkannya di akhir ritual. Di mana aku tak memiliki upaya. Aku hanya kembali pasrah. Mungkin menyerah!

Setelah ritual itu usai, lelaki itu akan meninggalkanku. Ia turut membawa anak-anak, membiarkan berada di rumah ini sendiri.

Anak-anak tak lagi simpati. Ayah mereka, leleki itu telah mencuci otak mereka . Fakta diputarbalikkannya sedemikian rupa. Aku yang tersakiti. Aku yang dicap salah. Aku dituduh memiliki lelaki lain.

Aku meringis menahan luka cambuk. Tak ada bantuan, tetangga kiri kanan tak mau ikut campur, ini bukan urusan mereka. Apalagi suamiku, lelaki itu, adalah salah satu orang yang memiliki kuasa tak terbantahkan.

Keadaanku akan berangsur-angsur pulih saat pagi kembali. Dalam keadaan perih biasanya aku tertidur, berhalusinasi. Kembali mengupas masa lalu saat awal akan menikah dulu.

“Orangnya ganteng, Widya. Mapan. Kamu pasti bahagia!” suara Bapak kembali terngiang-ngiang. “Kamu pasti suka, dia ngebet pengen menikahimu. Dia memilihmu. Kamu beruntung, Widya!”

“Hai, Widya..kamu masih di sini? Menanti senja?” Lamunanku buyar. Aku menoleh pelan, Lidya telah datang. “Hei, kenapa dengan tanganmu itu. Lebam. Apa yang terjadi, Widya?”

Lidya duduk di sampingku. Memelukku yang mulai menangis. Di sela-sela air mata yang mengalir, kisahku turut mengalir….

“Kami menikah sudah 10 tahun, Lidya! Aku bahagia, anakku juga dua. Sama sepertimu. Namun perangai suamiku berubah setahun belakangan ini. Aku tak tahu. Desas-desus yang kuterima, ia selingkuh.” Aku menarik nafas. Lidya masih sabar menanti kisahku. Air mataku berjeda. Namun kisahku tak berjeda, di dalamnya kuceritakan siksa, cerca, dan luka yang juga tak berjeda.

Kisah kami terhenti. Senja yang kami nanti menjumpai kami. Semburat jingga. Hembusan angin. Rumput yang bergerak berirama. Kami larut, diam sesaat untuk akhirnya kembali dalam gelisah.

Berhari-hari kuhabiskan untuk mencumbui senja. Dulu, aku sendiri. Kini tak lagi. Lidya senantiasa menemani. Kami berbagi. Tentang lelaki itu. Tentang selingkuh. Tentang anak-anak yang tak bersimpati. Tentang pelacur. Tentang luka.

Aku sudah tak peduli berapa lebam yang kuterima di beberapa malam. Aku sudah tak peduli manusia mana yang empati. Bagiku kini menemui senja dan bertutur bersama Lidya.

Aku kembali ke tempat itu, menemui senja seperti biasa lebih awal. Aku terperangah, Lidya sudah datang lebih dulu. Di tangannya telah memegang dua pistol. Aku makin terperanjat. Aku terpekik.

“Lidya… Apa-apaan ini?” Lidya tersenyum. Aku terheran-heran. “Aku tahu kamu terluka. Namun itu tak berarti kita mengakhiri hidup dengan nista. Bunuh diri bukan jalan keluar, Lidya!”

Lidya tertawa renyah, “Siapa yang mau bunuh diri?”

“Lalu?”

“Apakah sepanjang hidupmu, kau mau terus disakiti?” Aku menggelang. “Nah, ini saatnya..” Lidya terbahak. Aku terbelalak. Tak mengerti. “Sudah saatnya kita melawan, Widya!”

“Maksudmu?”

“Aku tembak pelacur itu dan kau tembak lelaki itu! Mereka mati. Luka kita usai” Lidya menatapku lekat. Entah hipnotis apa aku mengiyakan.

“Kapan?” tanyaku

“Malam ini…”

Senja telah berlalu. Kami bergegas melakukan rencana. Jika seusai senja kami berpisah, entah mengapa kami berjalan bersama.

Rumah di depanku tak asing. Jika sehabis senja aku pulang dengan gelisah, entah mengapa rasa itu sirna. Aku menatap Lidya, ia mengangguk seolah menyuruhku masuk.

Rumah sepi. Anak-anak tak terdengar suara. Dari arah kamarku, kudengar sayup-sayup dua orang bercengkrama. Aku mendekat, tanganku bergetar. Aku membuk kamar. Dua orang, salah satunya lelaki itu.

“Kamu bilang aku yang selaingkuh. Nyatanya kamu! Bedebah,” teriakku. Dua orang itu terperanjat hebat.


“Kamu!” Lidya menatap wanita yang terperanjat. “Pelacur murahan!! Karena kamu hidupku hancur. Lebur. Kini bagianmu merasakan derita.” Lidya mengangkat pistolnya. Dua orang itu mengangkat tangan.

“Kau harus mati, pelacuuur!” Lidya emosi, tembaknya tak tertahan. Tepat, peluru menembus kepala wanita itu. Darah mengalir, tubuh itu rebah.

“Widya, sadar… Aku suamimu!” teriak lelaki itu.

“Diam!” Aku menendang lelaki itu. Pistol kuangkat ke atas. Kutodong ke arahnya. Kuambil tongkat besi yang sudah kusiapkan.

“Berbalik kau!” teriakku. Lalu dengan sekuat tenaga kuarahkan tongkat besi itu ke lelaki itu. Dia merintih. Dia melolong.

“Widya, aku suamimu..,” ujarnya menahan sakit.

Aku tersenyum sinis. Lidya memberi tanda untuk segera melakukan eksekusi.

“Berbalik kau, lelaki berengsek!” teriakku. Saat lelaki itu berbalik. Pistol telah memuntahkan peluru menembus dadanya tiba-tiba.


Lelaki itu tak sempat berkata, di hadapannya yang tengah sakaratul maut. Aku terbahak-bahak. Lidya ikut serta. Kami terbahak-bahak.

Aku mengarahkan pistol di kepalaku. Lidya terperanjat.

“Berhenti Widya! Jangan! Jika kau mati aku mati. Widya. Jangan bodoh! Jangan gegabah! Widyaaaa… Tidaaaak!!” 
***

“Astaghfirullah! Aku terbangun. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Kulihat dua anakku dan suamiku tertidur pulas di sampingku. Aku ambil telepon genggamku. Saat aku cek, bacaan terakhirku tentang cerita Layangan Putus. Kisah seorang istri yang ditinggalkan suami demi istri muda. Aku menggeleng, sampai segitunya hingga terbawa dalam mimpiku.

17 komentar

  1. Haha, label yang mas erfano buat bikin aku geli.
    Sungguh, akun baca timeline semua emak merasa simpati, bahkan banyak yang terbawa mimpi. BBukan cuma itu, Konon di twitter ada yang sampe sinis sama suaminya padahal suaminya gak ngapa2in, wkwkwk
    perempuan memang makhluk baper.

    BalasHapus
  2. Menarik sekali, Mas Erfano. sangat mengalir dengan diksi-diksi menarik.
    Saat suaminya bilang,"Kalau bukan aku yang mengangkat derajatmu..." saya sudah yakin endingnya kalau Widya dan Lidya saling berkaitan.
    Tapi.. ternyata semua mimpi hahaha.

    BalasHapus
  3. Ya ampuuun ... sampai jadi fiksi, hehehe.
    Untung nggak mengalami ya, Bu. Semoga selalu samara keluarganya

    BalasHapus
  4. Haduh sampai jadi fiksi di sini, hehehe. Saya bacanya seriusan lho, ternyata si Ibu hanya mimpi, hahaha.

    BalasHapus
  5. Ini layangan putus versi action movies nih, syeruuh.. Hehe tp bener lohh kl dibikin versi ftv ind*siarnya, makin ngehits, mas erfano cocok jd script writernya

    BalasHapus
  6. widya dan lidya tak kirain satu orang yang berkepribadian ganda, ternyata hanya mimpi.
    itu mimpimu mas erfano?

    BalasHapus
  7. Emm... judulnya. Pas baca kok..kok.. syukurlah cuma mimpi. Wkwkw.. soalnya aku juga gitu bang, abis baca yang lagi booming itu jadi gimana dengan suami. sampe kebawa perasaan. >.<

    BalasHapus
  8. Layangan putus lagi. Hahahahha. Ke mana-mana kok ketemu judul ini, to.
    Tapi yang ini ceritanya beda. jauh beda. sampai terkecoh, b=nih dengan twist endingnya. Mungkin krn saya lama tidak baca dan main-main dengan fiksi lagi.

    BalasHapus
  9. Wkkkk ikutan trending itu jugak ya. Yang tali layangannya pada putus bisa hubungi saya, karena sejak 2012 saya udah jual layangan, benang senar dan gelasan berbagai ukuran wkkk

    BalasHapus
  10. Hahaha, ini semacam bagian hitam putihnya diri kita ya, Mas. Hati kecil manusia itu suka saling bertengkar, ada yang mendukung ada yang menolak, ada yang menghibur ada yang memanasi.

    Aku sudah tegang tadi. Ternyata cuma mimpi. Nyebelin kamu ya, Mas, wkwkwk ...

    BalasHapus
  11. Untuung mimpiiii haha. Ternyata Mas Erfano bisa bikin fiksi juga. Duh tapi ya mungkin ada ya ibuk2 yang kepoin layangan putus sampai kebawa mimpi gtu hahaha. Kmrn pas ramai2 saya milih buat jd pengamat aja deh, masalahnya kyknya hal kyk gtu udah ada kasus2 terdahulu yang mungkin gak viral. Cuma bisa doa moga rumah tangga kita semua baik2 aja selalu dalam lindungan-Nya aamiin

    BalasHapus
  12. Alurnya mantap oi...saya yang baca dibawa secara emosi. Dan di endingnya ada kejutan yang tidak disangka-sangka. Yakni, ternyata hanya mimpi. Mantap mas, karyanya

    BalasHapus
  13. Aku melow baca ini..kebetulan beberapa minggu ini jadi tempat curhat seorang teman ..hiks

    BalasHapus
  14. Ampyuuun...cerita layangan putus masuk blog juga...
    Surprise daku baca judulnya diawal dan ditulis sama sesebapak.
    .
    Bacanya bikin nafasku berhenti sampe ke ending. Syukurlah cuma mimpi. Tapi emang bener juga. Gegara terperangkap dalam kisah yang vairel kemaren, sempet juga diriku ikut kesel dan esmosi cerita ke suamik pake ultimatum tralala trilili...beliau cuma geleng-geleng kepala.
    "Emosi mu saat cerita itu udah kayak kamu aja yg diselingkuhi"
    Komen pak suami.

    Wkwkkw...autosadar setelah itu

    BalasHapus
  15. Wuaduh endingnyaaaaa.. Asli gregetan banget bacanya, alurnya menarik.
    Keren juga hasil dari bunga tidurnya mas :D

    BalasHapus
  16. Untung cuma mimpi yaaa hahaha padahal klo gak mimpi seru loh, bisa berjilid2 itu hehehe

    BalasHapus
  17. Tadinya kukira bakal nemu ulasan seputar kasus yang lagi Hits itu. Ternyata isinya cerita fiksi. Very entertaining

    BalasHapus