Merekam Jejak Karya Seorang Mouly Surya


Kalian tahu Mouly Surya? Pernah mendengar namanya di televisi atau di kanal-kanal berita? Jika belum tahu juga, aku akan sedikit bercerita perihalnya....
......
Kalau secara pribadi sih, aku enggak kenal Mouly secara dekat. Secara jauh mengenal juga enggak. Aku lebih tahu dibanding kenal, yanng aku tahu bahwa dia pekerja seni dan aku sebatas pengagumnya secara diam-diam. Pengagum akan karya yang ia buat.
Mouly Surya, seorang sutradara yang punya kualitas di atas rata-rata. Kalau bicara populer, Mouly emang enggak sepopuler Hanung Bramantyo sutradara banyak film seperti Ayat Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Catatan Akhir Sekolah, Get Merried atau Riri Reza (Laskar Pelangi, Gie, Pendekar Tongkat Mas), atau sutradara produktif Anggie Umbara (Warkop DKI Reborn, Suzanna, bernafas Dalam Kubur, Comic 8) atau sutradara yang hampir tiap tahun mengeluarkan karyanya seperti Ernest Prakasa (Ngenest, Cek Toko Sebelah, Susah Sinyal, Milly dan Mamet). Mouly Surya sebagai sutradara film dan penulis skenario mungkin tidak terlalu dikenal, karya-karyanya juga tidak sebanyak sutradara-sutradara di atas. Namun, setiap karya terekam jelas kualitasnya.
Mouly Surya sutradara Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak

Fiksi (2008)
Wikipedia menuliskan...
“Fiksi (ditulis sebagai fiksi. adalah sebuah film drama cerita seru Indonesia yang dirilis pada tanggal 19 Juni 2008 yang disutradarai Mouly Surya. Film ini dibintangi oleh antara lain Ladya Cheryl, Donny Alamsyah, dan Kinaryosih. Film ini mengisahkan kehidupan di rumah susun di Jakarta yang diwarnai karakter-karakter unik, dilihat dari mata seorang perempuan penuh fantasi berkecenderungan psikopat yang sedang terobsesi oleh cinta dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan cintanya tersebut, bahkan dengan menyakiti dan membunuh.”
Awalnya aku biasa aja lihat poster film ini di bioskop. Terbesit di hati sih pengen nonton, Cuma takut zonk kayak yang sudah-sudah. Maksudnya nonton film Indonesia harus pilih-pilih karena banyak film yang dibuat sekadar kejar setoran dan kadang melupakan kualitasnya. Nah, awalnya aku pikir begitu dengan film Fiksi ini. Walaupun jajaran pemainnya berkelas semua. Cuma waktu itu aku ragu, apalagi sutradaranya enggak terlalu aku tahu. Batal deh nonton Film Fiksi.
Namanya penyesalan datangnya emang selalu belakangan. Soalnya kalau datangnya di awal-awal itu pendafataran (jokes legenda ini ha... ha... ha....). Penyesalan aku datang pas Festival Film Indonesia (FFI) 2018 mengumumkan nominasi. Film Fiksi berhasil masuk 10 nominasi. Keren nggak tuh?
Penasaran kan Film Fiksi ini tentang apa? Penasaranku makin menjadi-jadi pas perhelatan FFI 2018 diselenggarakan dan Film Fiksi menang empat penghargaan antara lain sutradara terbaik (Mouly Surya), penulis skenario terbaik (Joko Anwar dan Mouly Surya), penata musik terbaik dan yang buat aku tercengang Film Fiksi dinobatkan sebagai Film Terbaik FFI 2018 ngalahin film lainnya seperti 3 Doa 3 Cinta, Claudia/Jasmine, May, dan Under The Tree. Padahal Film Fiksi adalah karya pertama seorang Mouly Surya. Mantap betul!
Penasaranku yang belum terjawab membuat aku berusaha cari DVD film ini. Kebetulan DVD originalnya sudah rilis. Waktu itu akhir tahun 2008, youtube enggak secermelang sekarang. Jadi mau nonton film kudu cari DVDnya. Nah, udahlah aku muter-muter, DVDnya udah abis di toko-toko kaset. Tapi, ternyata di penyewaan DVD dekat kampus tersedia. Ketebak dong, perasaanku waktu itu. Happy banget!
Berbekal laptop di rumah, aku nonton Film Fiksi. Film ini sebenarnya film yang kelam dan gelap. Tapi sepanjang aku nonton, aku menikmati banget adegan demi adegan. Benar-benar keren, detail filmnya benar-benar diperhatikan. Dan bagian-bagian film terintegrasi satu sama lain, membuat penonton enggan untuk beranjak. Selesai nonton, aku menghela nafas panjang. Pantas. Film ini benar benar pantas menyandang predikat film terbaik.
Sejak saat itu, aku lumayan ngikutin kiprahnya Mouly Surya. Walaupun film keduanya dirilis tahun 2013, lima tahun kemudian.
What They Don't Talk About When They Talk About Love (2013)\
“Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta mengisahkan tentang Fitri, seorang perempuan yang tidak bisa melihat sejak lahir. Fitri jatuh cinta pada hantu dokter yang ia kirimi surat berisi hal-hal personal yang hanya diketahui olehnya Sampai suatu hari, hantu dokter tersebut muncul tanpa sepatah kata, ia ternyata seorang pria tuli berusia 30 tahun bernama Edo. Jika saja Fitri dapat melihat dan Edo dapat bicara, mereka mungkin sudah saling jatuh cinta sejak lama. Meskipun, siapa tahu,  mungkin saja cinta mereka pun sudah menghilang dalam kontrakan lusuh yang mereka tinggali” ~21 Cineplex
Film What They Don’t Talk About When They Talk About Love dimainkan aktor-aktor berkelas seperti Nicholas Saputra, Ayushita, Karina Salim dan Anggun Priambodo. Sayangnya film ini tayang di beberapa bioskop yang dipilih. Jadi kans aku buat nonton film ini lumayan sedikit dan berakhir enggak nonton sama sekali.
Nah, di FFI 2013, Film ini ternyata emang enggak mengeluarkan macannya. Hanya masuk dua nominasi yaitu peran pendukung wanita terbaik (Ayushita) dan penulis cerita asli. Dan sampai sekarang aku belum nonton film ini, tapi kalau lihat sekilas-sekilas film ini juga patut untuk dilihat.
Marlina, Si Pembunuh Dalam Empat Babak (2017)
Kurun waktu empat tahun lebih, aku enggak terlalu mendengar kiprah seorang Mouly Surya. Sampai akhirnya desas desus film Marlina, Si Pembunuh Dalam Empat Babak akan dirilis dan disutradarai oleh Mouly Surya. Aku enggak sabar menunggu....
“Suatu hari di sebuah padang sabana Sumba, Indonesia, sekawanan tujuh perampok mendatangi rumah seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy). Mereka mengancam nyawa, harta dan juga kehormatan Marlina dihadapan suaminya yang sudah berbentuk mumi, duduk di pojok ruangan. Keesokan harinya dalam sebuah perjalanan demi mencari keadilan dan penebusan, Marlina membawa kepala dari bos perampok, Markus (Egi Fedly), yang ia penggal tadi malam. Marlina kemudian bertemu Novi (Dea Panendra) yang menunggu kelahiran bayinya dan Franz (Yoga Pratama) yang menginginkan kepala Markus kembali. Markus yang tak berkepala juga berjalan menguntit Marlina.” (wikipedia)
Saat pemier film Marlina, aku buru-buru untuk membeli tiket. Takut film ini turun layar sebelum waktunya. Biasanya film-film model begini jarang banget penontonnya. Makanya aku nonton di hari pertama penayangan.
Sama seperti Fiksi, Film Marlina adalah film kelam dan gelap. Adegan pembunuhan, adegan membawa kepala, adegan istri yang dicampakkan suami membaur menjadi cerita utuh yang detail dan asik untuk dinikmati. Soal akting, Marsha Timothy sebagai Marlina benar-benar total memainkan perannya ditambah Dea Panendra (yang aku baru ngeh kalau Dea ini adalah Dea Idol) sebagai Novi yang nggak kalah cemerlang aktingnya. Tidak mengherankan kedua pemain ini berhasil menyabet Piala Citra untuk katgeori pemeran utama wanita dan pemeran pendukung wanita terbaik. Akting aktor lainnya seperti Egi Fedly dan Yoga Pratama juga nggak kalah cemerlang, sayang di FFI 2018, mereka dikalahkan Nicholas Saputra lewat Film Aruna dan Lidahnya dalam nominasi aktor pendukung pria terbaik.
Dalam perhelatan FFI 2018, Film Marlina, Si Pembunuh Dalam Empat Babak berhasil memboyong 10 penghargaan dari 14 nominasi termasuk di dalamnya Film Terbaik dan Sutradara Terbaik. Lagi-lagi Mouly Surya berhasil memboyong kategori ini.
Sutradara Terbaik
Enggak banyak sutradara perempuan di Indonesia. Dan enggak banyak juga sutaradara yang dua kali mendapatkan penghargaan Piala Citra sebagai sutradara terbaik. Setelah bangkitnya film Indonesia dan perhelatan FFI tahun 2004, tercatat Hanung Bramantyo yang berhasil menorehkan dua Piala Citra untuk kategori sutradara terbaik lewat film Brownies dan get Merried dan tentu saja Mouly Surya dari Film Fiksi dan Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak.
Keren? Menurutku tentu saja. Bahkan sutradara kawakan seperti Riri Reza dan Joko Anwar tercatat satu kali mendapatkan Piala Citra di kategori ini. Padahal Joko Anwar dan Riri Reza menelurkan karya yang tidak sedikit. Hanung Bramantyo pun demikian di tahun-tahun perhelatan FFI, namanya kerap masuk nominasi sebagai sutradara terbaik, sehingga kansnya untuk menang sebagai sutradara terbaik lebih besar. Wajar kalau dua Piala Citra sebagai sutradara terbaik berhasil ia gondol.
Sedangkan dengan Mouly Surya? Sutaradara yang baru menelurkan tiga film layar lebar, dan mendapatkan predikat sutradara terbaik dari dua film yang ia garap. Keren bangetlah! Dan patut diacungi jempol.
***
Perjalanan Mouly Surya dalam berkarya masih terbentang luas. Ia mendapatkan Piala Citra pertamanya di usia yang terbilang begitu muda untuk ukuran sutradara, 28 tahun. Dan, berhasil memukau pelbagai pihak ketika usianya beranjak dewasa dan matang saat menggarap Marlina. Memang sih usia enggak bisa dijadikan patokan.
Semoga karya-karya seorang Mouly Surya dapat terus ada dan membuat kualitas film Indonesia makin berjaya pada kelas dan kualitasnya.

Tidak ada komentar

Posting Komentar