Bahasa Nias dan Amaedola



Bahasa Nias

Bicara soal Nias emang nggak ada habisnya, kali ini aku mau bahas tentang bahasa Nias yang unik dan berbeda dengan bahasa daerah di Indonesia. Meskipun Nias masuk dalam provinsi Sumatera Utara, namun nyatanya bahasa Nias beda dengan bahasa Batak dan Melayu yang ada di Sumatera Utara. Marga orang Nias juga beda jauh dari marga-marga pada Suku Batak. Dulu, awal aku datang untuk pertama kali ke Nias, aku agak kesusahan dalam menghafal nama orang Nias, marga seperti Zebua, Zendrato, Zalukhu, Waruwu, Fau, Fa’ana dan marga yang lain, semua masih terdengar asing di telingaku.
 Salah satu bahasa di dunia yang unik adalah bahasa Nias. Salah satu yang unik adalah semua kosakata di akhir kata tidak ada konsonan.

Dua kali ke Nias, masih aja nggak ngeh dengan keunikan bahasanya. Sampai akhirnya, balik lagi untuk mengulik lebih dalam lagi tentang budaya Nias termasuk bahasanya. Dari buku yang aku baca dan budayawan yang diajak ngobrol, ternyata orang Nias itu jago dalam bahasa tutur atau bahasa lisan. Makanya nggak heran kalau ada sekitar 13 sastra lisan yang digunakan dalam upacara adat maupun dalam keseharaian. Tapi bahasnya nanti. Aku pengen bahas tentang keunikan bahasa Nias dulu.
Nah, bahasa daerah Nias ini biasanya disebut disebut Li Niha. Apa itu ya? “Li” artinya suara sedangkan “Niha” memiliki arti manusia. Penamaan Li Niha yang berarti suara manusia erat hubungannya dengan tradisi lisan masyarakat Nias, dalam bahasa Nias tradisi ini disebut Hoho.
Apa saja keunikan bahasa Nias?
Tidak Ada Konsonon Penutup
Keunikan bahasa daerah Nias yang pertama adalah tidak ada konsonan penutup. Tahu huruf vokal dan huruf konsonan kan? Nah, bahasa daerah Nias ini enggak mengenal  konsonan atau huruf mati di akhir kata. Jadi, semua katanya itu di akhiri dengan huruf vokal seperti a, e, o, u dan Ăś. Contoh kalimatnya gofu hezoso mĂľi lĂľsu ba igo'Ăľ-go'Ăľ ia uliho yang artinya sifat dan perilaku itu akan selalu dibawa-bawa kemana pun perginya. Perhatikan nggak ada huruf konsonannya ya?
Huruf Ăś
Huruf Ăś ini sebagai salah satu tambahan huruf vokal. Penambahan huruf vokal Ăś (dibaca ”e” seperti pada kata empat, enggan). Adanya huruf tambahan ini membuat bahasa Nias terlihat unik ketika dituliskan. Tambah unik lagi kalau ada yang sedang mendikte dan ada yang sedang menuliskan. Saat awal-awal tinggal di Bogor, aku yang bukan orang Sunda menuliskan salah satu kata di papan tulis. Kata yang aku tulis waktu itu adalah kata “heunteu” yang artinya tidak. Saat itu, aku menuliskan hente tanpa ada penambahan u. Dan aku ditertawakan kemudian diberitahu penulisan yang benar.
Tidak ada huruf c, j, q, v dan x
Adanya penambahan huruf berarti ada pengurangan huruf juga. Enggak seperti bahasa Indonesia pada umumnya, bahasa Nias tidak menggunakan huruf c, j, q, v, dan x).
Penggunaan tanda kutip satu (‘)
Keunikan lainnya pada bahasa Nias adalah penggunaan tanda kutip. Biasanya tanda kutip digunakan untuk kata-kata yang memiliki dua huruf vokal yang bertemu. Contoh pada kata ya’ahowu, pertemuan antara huruf vokal a dan a dipisahkan dengan menggunakan tanda kutip. Contoh lain pada kata ma’igi (tertawa), te’u (tikus) dan ya’o (saya). Terdengar unik secara lisan dan penulisan.
Jadi kalau kalian sempat berkunjung ke Nias, coba deh main ke pasar dan dengerin orang Nias ngomong. Berasa ada di negeri mana gitu. Apalagi secara face, orang Nias wajahnya putih sipit tapi berbeda dengan wajah orang Tiongkok kebanyakan.
Oh ya, bahasa Nias ini masih belum diketahui asal muasalnya. Jadi banyak juga peneliti yang sengaja datang untuk tahu lebih banyak tentang asal muasal bahasa Nias.

Amaedola: Seni Sastra bahas Nias.

Untuk urusan budaya dari Nias, yang terkenal banget itu pastinya adalah lompat batu. Tapi ternyata dan aku juga baru ngeh, sastra di Nias itu lumayan banyak, ada sekitar 13 sastra lisan. Ketiga belas sastra lisan itu adalah fangowai ba fame afo, bolihae, hendrihendri, fotu ni’owalu (bene’Ăś), olola mbawi, famasao ono mbawi, fanika era ‘era mbĂśwĂś, amaedola, nidunĂśdunĂś/hikaya, hoho, fo’ere, famatĂśrĂś tĂśi mbalugu, baa tanĂśbĂś’Ăśnia.
Beberapa sastra lisan Nias yang aku tahu setelah baca literatur di Museum Pusaka Nias adalah hendrihendri, hoho dan amaedola. Kali ini, fokus aku ke sastra lisan Amaedola.
Dari literatur yang aku baca....

“Amaedola adalah salah satu budaya khas Nias yang termasuk dalam seni sastra bahasa Nias.  Dalam bahasa Indonesia amaedola diartikan sebagai pepatah atau pribahasa. Biasanya di masyarakat Nias, amaedola digunakan dalam upacara-upacara adat yang  disampaikan secara lisan.”

Dari buku Bahasa dan Sastra Nias yang ditulis oleh  ZendratĂś (2003), dalam sastra Nias terdapat dua jenis amaedola yakni amaedola side’ide dan amaedola sebua. Yang membedakan kedua jenis amaedola ini adalah panjang dan pendeknya kalimat, jika amaedola side’ide memiliki kalimat yang pendek dan amaedola sebua memiliki kalimat yang panjang dengan sampiran.
Contoh dari Amaedola:

Kauko ba hili kauko ba ndraso, faolo ndra'ugĂś ba ufaolo gĂśi ndra'o, faoma ita fao-fao”. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbunyi, “Mari kita saling menghargai (pendapat) sesama supaya suatu permasalahan dapat terselesaikan dengan kesepakatan bersama dan adil”.

Ada juga amaedola yang lain. Dikutip dari buku Kumpulan Pribahasa Nias Teluk Dalam (La’ija, 1971) yang dikoleksi Museum Pusaka Nias.

Ibinibini’Ó§ ia [bawa], oroma ia na tesa’a. Ibinibini’Ó§ ia [dÓ§fi], oroma ia na akhÓ§mi (Bulan yang bersembunyi di balik awan, akan kelihatan juga disaat purnama. Bintang pun yang bersembunyi akan terlihat juga disaat malam telah tiba) (bawa) “bulan” dan (dÓ§fi) “bintang” merupakan benda-benda langit yang berada di ruang angkasa.

Dan berikut ini penjelasan terkait dengan amaedola di atas....

“Penggunaan metafora (bawa) dan (dÓ§fi) diasosiasikan sebagai sebuah momok, sebuah kebohongan bagi masyarakat Nias jika dilekatkan pada amaedola di atas, yang berarti bahwa bagaimanapun bulan (mbawa) menyembunyikan dirinya maka ia mau tidak mau akan muncul juga disaat purnama, begitu juga bintang (dÓ§fi) menyembunyikan dirinya akan kelihatan juga disaat malam telah tiba. Semua ada masa dan waktunya, dan itu tidak akan bisa dihindari oleh siapapun. (bawa) dan (dÓ§fi) juga bisa diasosiasikan sebagai sebuah talenta, berdasarkan keberadaan bulan dan bintang yang merupakan benda langit, bagi masyarakat Nias juga merupakan benda langit yang sangat indah yang pastinya akan selalu dinantik-nantikan. Beberapa sifat masyarakat Nias yang terlalu merendah diri ataupun juga disebabkan karena malu untuk tampil meskipun memiliki kelebihan/talenta tertentu yang seharusnya bisa dibanggakan. Maka, bagaimanapun itu pada waktunya nanti seseorang itu pasti akan menunjukkan talenta yang dimilikinya. Secara keseluruhan, amaedola ini bermakna bahwa kebohongan bahkan kebenaran sekalipun jangan pernah ditutup-tutupi sebab setiap hal ada waktu dan masanya yang dengan sendirinya akan terungkap juga.”

Amaedola ini kan digunakan untuk upacara. Tapi selain itu digunakan juga untuk keseharian dalam memberikan nasihat-nasihat kepada yang lebih muda. Amaedola ini jumlahnya banyak banget ada ribuan amaedola. Belum sastra sastra lisan yang lain. Kalau dipikir-pikir, baru dari segi bahasa saja Nias itu sudah kaya banget. Apalagi kalau kita ngulik budaya-budaya Nias yang lain.
Nah, nilai-nilai yang terkandung dalam amaedola itu banyak banget karena berisi nasihat-nasihat penting dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Dan Amaedola ini tercipta dari pengalaman-pengalaman leluhur.
Nggak cuma Nias doang sih yang kaya akan budayanya. Waktu aku ke Toraja, budaya pemakaman di sana luar biasa. Atau saat berkunjung ke Sumba dan membahas banyak tentang budayanya, juga sama luar biasanya. Belum daerah-daerah lain. Ribuan bahkan puluhan ribu budaya ada di negeri kita. Indonesia.
Cuma ada yang bikin khawatir,  beberapa budaya sudah mulai menghilang dan nggak digunakan, termasuk budaya Amaedola ini yang mulai bergeser.
Harapan aku, semua orang mulai dari pemerintah, budayawan, pendidik, masyarakat bahu membahu dalam melestarikan budaya yang memiliki nilai-nilai positif untuk kehidupan anak cucu kita.
Semoga ya kearifan lokal dari budaya kita bisa terus bertahan. Aamiin.

Tidak ada komentar

Posting Komentar