Menikmati Hari di Bumi Langit Yogyakarta



“One’s destination is never a place, but a new way of seeing things”.

Henry Miller



Yogyakarta. Provinsi yang satu ini memiliki sejuta daya tarik. Tempat wisata yang bertebaran, ragam kuliner yang menggugah selera, tatanan kota yang bersih dan rapi serta orang orang yang ramah. Makanya, kalau ditanya pengen liburan ke mana, mayoritas menjawab Yogyakarta sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi.

Jika berkunjung ke Yogya, sudah lumrah rasanya menyusuri Jalan Malioboro, atau melihat keraton, atau menikmati gudeg dan bakpia di pusat kota Yogyakarta. Untuk itu, sesekali perlu rasanya keluar melintas ke kabupaten lain di Yogyakarta.

Bantul yang merupakan salah satu kabupaten di Yogyakarta menyimpan banyak tempat keren. Yang paling diingat tentu saja Pantai Parangtritis. Tapi ada tempat yang enggak kalah keren, tepatnya di Imogiri, Bantul. Bumi Langit namanya.

Perjalanan ke Bumi Langit ditempuh kurang lebih satu jam dari pusat kota. Menuju Imogiri dengan kontur daerah berbukit, mata kita akan dimanjakan dengan pepohonan asri nan hijau.

Posisi Bumi Langit berada di kiri jalan, dari arah bawah. Sesaat memasuki area Bumi Langit, rindangnya pohon legum akan menyambut dan sebuah rumah joglo dengan kursi kayu siap untuk disinggahi.

Rupanya bangunan joglo tersebut adalah Resto Bumi Langit. Tempat di mana ragam hidangan disajikan dengan konsep farm to table.

Sembari pesan makanan, dekat kasir disajikan camilan yang juga berasal dari kebun setempat. Ada opak singkong, misro yakni singkong yang diparut kemudian diisi gula merah. Mereka menyebutnya cemplon. Dan beragam bahan pangan lokal yang bisa dibeli tersedia juga dekat kasir. Ada madu, selai yang dibuat dari hasil kebun, biji bijian dan produk lainnya.

Saya duduk di ujung. Duduk sendiri sambil melihat pusat kota Yogya. Sembari menunggu pesanan minuman mint sereh, saya menikmati cemplon dan opak singkong yang tiada duanya. Klasik tapi nikmat.

Suasana resto belum ramai. Saya berkunjung lumayan pagi memang. Minuman yang saya pesan akhirnya datang. Sambil menyeruput minuman mint sereh, saya menghirup udara dalam dalam. Plong…

Ini kali ketiga, saya berkunjung ke Bumi Langit. Kunjungan pertama saya lakukan di tahun 2016. Saat itu, Bumi Langit sudah dikenal khalayak tapi belum seramai sekarang.

Di tahun 2016 itu, kami datang kemudian mencoba beberapa menu sehat yang sebagian besar bahannya diambil dari kebun yang mengusung konsep permakultur. Saya berkeliling kebun di Bumi Langit sembari mendengarkan pendiri tempat ini, Bapak Iskandar Woworuntu.

“Selain memerhatikan kehalalan sebuah makanan, hal yang juga perlu diperhatikan adalah apakah makanan yang kita konsumsi thoyyib?” jelas Pak Iskandar.

“Industri makanan yang mendominasi kebutuhan pangan kita membuat pola makan kita bergeser. Mindset tentang makanan yang terkesan thoyyib atau baik juga bergeser. Gula, tepung terigu, ragam saus olahan, sosis, mie seolah-olah merupakan bahan pangan yang thoyyib. Padahal makanan tersebut menyisakan sampah. Prosesnya pun tidak ramah terhadap lingkungan. Bagi tubuh, bahan panganan yang diproduksi secara industrial tanpa mengindahkan kealamiannya menjadikan racun yang akhirnya bermuara menjadi penyakit.”

“Nenek moyang kita telah mengajarkan ragam kearifan lokal terhadap bahan makanan. Dulu nasi, kulit arinya atau bekatul masih menempel di beras. Ketika ditanak menjadi nasi, warna nasi agak kecokelatan muda. Kulit ari yang masih menempel ini tinggi akan serat. Namun sekarang, industri makanan seolah menggiring opini bahwa beras putih lebih bersih, sehat dan baik untuk tubuh. Bahkan beras bisa menjadi perbedaan kasta di antara manusia.”

Saya kembali menyeruput minuman mint sereh, kemudian mengambil opak singkong dan mengunyahnya. Udara masih terasa sejuk, beberapa kicuan burung terdengar.

Jika kalian berkeliling ke kebun permakultur di Bumi Langit, akan banyak insight yang akan kalian dapatkan. Selain akan tahu ilmu pertanian, kita diajak untuk lebih peduli terhadap lingkungan.

Area yang akan kalian kelilingi adalah area sayur mayur yang bercampur dengan beberapa bunga musiman. Di pinggir-pinggir kebun terdapat tanaman buah berbatang pendek seperti buah murbei. Saat berkeliling, kebun beberapa tanaman palawija seperti shorgum, jagung, kacang tanah terlihat menghijau, tapi apa yang saya lihat belum tentu akan sama jika kalian berkunjung. Sebab beberapa tanaman akan berbeda tergantung musim dan perputaran jenis tanaman.

Selain kebun, ada kolam ikan dan kandang ayam , kambing dan sapi. Semua dibudidayakan secara organik dan alami. Tanaman dan hewan tidak dipaksa untuk cepat besar dengan menggunakan hormon hormon tertentu, sehingga kethoyibban bahan makanan masih terjaga.

“Bapak mau pesan makanan beratnya?” tanya pegawai restauran, membuyarkan lamunanku tentang Bumi Langit. Lantas, sang pegawai memberikan daftar menu Bumi Langit Resto.

“Saya mau nasi goreng kecombrangnya satu,” jawab saya kemudian.”Sekalian roti gandum selai cokelatnya satu.” Saya melanjutkan pesanan sembari membuka-buka daftar menu.

“Baik, pak. Untuk minumannya, pak?” tanyanya.

“Nggak usah dulu. Mint Serainya masih ada.” Saya menjawab tawaran minuman sembari menunjuk gelas yang berisi minuman mint sereh.

Pegawai resto tersenyum kemudian izin untuk undur diri. Saya membalas senyumannya.

Makanan yang saya pesan datang. Hari sudah siang, Bumi Langit Resto semakin ramai. Saya menikmati sendokan nasi goreng kecombrang dengan begitu lahap. Sungguh satu hari yang indah dapat mmanfaatkan waktu di sini, di Bumi Langit Yogyakarta.

Perjalanan bagi saya bukan sekedar mengunjungi sebuah tempat kemudian foto-foto lalu pulang. Perjalanan adalah bagaimana sudut pandang kita dalam mengambil sebuah hikmah, mendapat pengetahuan dan mendapatkan inspirasi dari orang-orang pilihan.

Jadi….

Kalau suatu hari kalian punya waktu untuk liburan. Dan…. Yogyakarta menjadi pilihan. Mampirlah ke Bumi Langit…


11 komentar

  1. Benar sekali, industri makanan yang mendominasi kebutuhan pangan kita telah membuat pola makan kita bergeser. Inspiratif sekali apa yang dilakukan Bumi Langit ini. Konsep farm to table yang bisa diikuti banyak pihak

    BalasHapus
  2. Nah, iya benar, Mas Erfano. Saya sudah beberapa kali bolak-balik ke Yogya, tapi ya seputar kota Yogya saja. Padahal daerah sekitar kota Yogya katanya keren.
    Nah, saya minat nih, ke Imogiri. Tapi sayang nih, Mas, kok ga ada foto-fotonya keindahan alam Imogiri.

    BalasHapus
  3. Kalau disebut jogja, berjalan di malioboro aja udah happy banget,
    Tapi beberapa kali ke jogja belum pernah mampir ke bumi langit,
    Masuk wishlist deh kapan ke jogja lagi,
    Makasih infonya mas erfan 😁

    BalasHapus
  4. Saya pernah dua bulan di bantul mas.
    Pasca meninggalnya anak sulung saya.
    Menghibur diri ganti suasana ikut suami yg lagi ada kerjaan di jogja.
    Tapi saya ndak maen ke sini la.
    Ndak tau waktu itu.

    Semoga ada kesempatan lagi berkunjung ke jogja dan mengunjungi bumi langit

    BalasHapus
  5. Ahhh, Jogja memang ngangenin Mas, hehehe. Btw, ini resto baru kah Mas? Kok baru denger ya. Kalau ke Jogja mampir in syaa' Allah.

    BalasHapus
  6. Wah saya sering banget main ke Bantul waktu tinggal 2 tahun di Jogja tapi belum pernah ke Bumi Langit mas. Duh ada tempat yang terlewat kalo gitu nih ya. Oke kapan-kapan ke Jogja semoga bisa mampir ke Bumi Langit

    BalasHapus
  7. sering ke Yogya tapi baru tau tempat ini...sepertinya seru nih kalau dikunjungi Bumi Langit nya sy save ya ceritanya..mksh

    BalasHapus
  8. Bumi Langit bisa jadi next destinasi saya kalau ke Jogja, nih. Pengen sinau permakultur. 3 tahun ini saya sedang getol belajar berkebun. Rajin bikin kompos, mol dan semacamnya.

    BalasHapus
  9. Saya baru denger nih Bumi Langit, pas ke Jogja belum dikenalin sama adek. Btw pasti lebih bagus lagi kalau cerita ini dilengkapi gambar pak sehingga saya tak hanya membayangkan saja. hehehe

    BalasHapus
  10. Sebenarnya baca tulisan ini sudah cukup menggambarkan suasana resto Bumi Langit tapi penasaran sama fotonya, kalau ke Jogja pengen deh mampir

    BalasHapus
  11. Noted mas. Terakhir ke Jogja tuh sekitar2017/2018. Pengen kesana lagi next time. Jadi ada referensi baru nih, pengen nyoba ke bumi langit juga

    BalasHapus